Hatiku Terbawa Kereta
Part 4
"Anisa?" Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan ini.
"Kalian sudah saling kenal?" Paman Anto beranjak dari kursi yang sebelumnya ia duduki.
Tubuhnya tegap tak terlihat seperti orang sakit. Wajahnya bahkan jauh lebih segar. Di ruang tamu ini pun ada banyak perbedaan tidak seperti halaman rumahnya. Buku-buku yang awalnya tersusun rapi dalam rak, sekarang menumpuk di atas meja di sudut ruangan. Boneka panda berukuran raksasa membeku pada salah satu kursi yang biasanya menjadi tempatku menghabiskan waktu. Dan yang paling berbeda adalah foto pernikahan yang tampak baru bahkan asing.
"Paman menikah lagi?" tanyaku dengan sejuta pertanyaan, "dengan gadis itu?"
Paman Anto tertawa meski terlihat canggung.
"Sini duduk dulu. Kamu lama sekali tidak bertemu paman,"
Aku dituntun menuju salah satu kursi yang berseberangan dengan Anisa. Sementara Paman duduk disebelahnya.
"Paman sudah memberitahu ibumu jika Paman kembali menikah. Bahkan ibumu menghadiri acara pernikahan sederhana itu. Hanya saja kamu yang berhalangan hadir karena ada tugas kuliah yang mengharuskan ke luar kota. Sebenarnya Paman ingin mengunjungimu minggu ini. Namun karena kemarin Paman sakit dan kamu berniat datang ke sini, itu kabar bagus," jawabnya diselingi tawa, "Paman bukan menikah dengan gadis ini, tapi dengan ibunya. Jadi Anisa adalah anak paman, juga sepupumu."
Aku dituntun menuju salah satu kursi yang berseberangan dengan Anisa. Sementara Paman duduk disebelahnya.
"Paman sudah memberitahu ibumu jika Paman kembali menikah. Bahkan ibumu menghadiri acara pernikahan sederhana itu. Hanya saja kamu yang berhalangan hadir karena ada tugas kuliah yang mengharuskan ke luar kota. Sebenarnya Paman ingin mengunjungimu minggu ini. Namun karena kemarin Paman sakit dan kamu berniat datang ke sini, itu kabar bagus," jawabnya diselingi tawa, "Paman bukan menikah dengan gadis ini, tapi dengan ibunya. Jadi Anisa adalah anak paman, juga sepupumu."
Selama mendengar cerita yang Paman lontarkan, berulang kali aku mengatur napas yang terasa berat. Paman bercerai dengan Bibi Saras sewaktu aku masih berseragam putih biru. Mereka tidak memiliki keturunan dalam usia pernikahan yang sudah hampir dua dasa warsa. Bibi memilih pergi dan menikah dengan pria lain yang katanya dapat memberi keturunan, tidak seperti suaminya. Dan pantas saja Paman tampak merona bahagia dengan kehadiran Anisa.
"Paman tadi bertanya, kalian saling kenal? Dimana?"
"Belum kenal, bertemu hanya sekali. Tidak pernah berjabat tangan dan memperkenalkan nama. Semua terjadi dalam kereta." jawab gadis yang menurut Andre tuna wicara itu.
"Paman tadi bertanya, kalian saling kenal? Dimana?"
"Belum kenal, bertemu hanya sekali. Tidak pernah berjabat tangan dan memperkenalkan nama. Semua terjadi dalam kereta." jawab gadis yang menurut Andre tuna wicara itu.
Aku mengerjapkan mata karena jengah menatap sikap polosnya. Sangat berbanding terbalik dengan apa yang kudengar. Lagipula aku belum bisa memastikan apakah gadis ini benar-benar Anisa yang Andre kenal atau bukan? Aku tidak bisa menyimpulkan sesuatu sebelum tahu segalanya.
"Bagaimana keadaan Paman sekarang?" tanyaku, alih-alih mengabaikan keterkejutan yang barusaja dialami.
"Alhamdulillah sudah lebih baik. Kemarin hanya kambuh sedikit saja. Sebenarnya Paman tidak ingin merepotkanmu, tapi di sisi lain Paman sangat merindukanmu."
"Bagaimana keadaan Paman sekarang?" tanyaku, alih-alih mengabaikan keterkejutan yang barusaja dialami.
"Alhamdulillah sudah lebih baik. Kemarin hanya kambuh sedikit saja. Sebenarnya Paman tidak ingin merepotkanmu, tapi di sisi lain Paman sangat merindukanmu."
Pembicaraan terhenti saat seorang wanita usia pertengahan empat puluhan membawa nampan menuju meja yang menjadi pembatas antara aku dan Paman. Diletakkannya empat gelas minuman dingin dan sepiring kudapan.
"Ini Bibi Ratih, istri Paman, Ibunya Anisa." Aku menjulurkan tangan dan memberi seulas senyum untuk menyapa pertama kalinya.
"Ini yang namanya Tiara, keponakan paling cantik satu-satunya?" tanyanya seraya menaruh nampan pada nakas samping kursi.
"Iya, Bi." jawabku menarik ujung bibir semelengkung mungkin.
Bibi Ratih kemudian mempersilahkanku untuk menikmati hidangan yang tersedia. Dari yang kuamati selama bercengkerama, dia merupakan wanita baik yang tentunya akan membahagiakan Paman. Tahi lalat menempel pada atas alis sebelah kiri. Hidungnya mancung dan kerutan tidak terlalu nampak. Bibi yang cantik. Anisa memiliki paras indah dari ibunya.
"Ini Bibi Ratih, istri Paman, Ibunya Anisa." Aku menjulurkan tangan dan memberi seulas senyum untuk menyapa pertama kalinya.
"Ini yang namanya Tiara, keponakan paling cantik satu-satunya?" tanyanya seraya menaruh nampan pada nakas samping kursi.
"Iya, Bi." jawabku menarik ujung bibir semelengkung mungkin.
Bibi Ratih kemudian mempersilahkanku untuk menikmati hidangan yang tersedia. Dari yang kuamati selama bercengkerama, dia merupakan wanita baik yang tentunya akan membahagiakan Paman. Tahi lalat menempel pada atas alis sebelah kiri. Hidungnya mancung dan kerutan tidak terlalu nampak. Bibi yang cantik. Anisa memiliki paras indah dari ibunya.
"Denger-denger Tiara masih kuliah ya?" tanya Bibi.
"Sudah memasuki semester 5, Bi." jawabku sebelum meneguk air dingin yang buliran kristalnya mengerubungi gelas bagian luar.
"Bibi berencana memasukkan Anisa pada Universitas yang sama denganmu." Aku terbatuk karena tersedak air dingin yang serasa menyengat hingga jantung, "Tiara kenapa?"
Aku menggeleng, "Tiara terburu-buru barusan. Masuk di Universitas yang sama? Lalu apa Anisa harus bolak-balik naik kereta?"
"Paman sangat berharap Anisa dapat tinggal bersamamu, agar rumahmu tidak sepi. Apabila Ibumu sedang tidak di rumah, kamu tidak punya teman untuk mengisi kekosongan dalam rumah itu. Paman melakukan ini semua juga demi kebaikanmu. Paman tidak tega melihat keponakan satu-satunya menjalani hari dengan sepi."
Sungguh, aku benar-benar kehilangan kata-kata. Jika ini lelucon seperti yang ada dalam Tv, tolong hentikan.
"Sudah memasuki semester 5, Bi." jawabku sebelum meneguk air dingin yang buliran kristalnya mengerubungi gelas bagian luar.
"Bibi berencana memasukkan Anisa pada Universitas yang sama denganmu." Aku terbatuk karena tersedak air dingin yang serasa menyengat hingga jantung, "Tiara kenapa?"
Aku menggeleng, "Tiara terburu-buru barusan. Masuk di Universitas yang sama? Lalu apa Anisa harus bolak-balik naik kereta?"
"Paman sangat berharap Anisa dapat tinggal bersamamu, agar rumahmu tidak sepi. Apabila Ibumu sedang tidak di rumah, kamu tidak punya teman untuk mengisi kekosongan dalam rumah itu. Paman melakukan ini semua juga demi kebaikanmu. Paman tidak tega melihat keponakan satu-satunya menjalani hari dengan sepi."
Sungguh, aku benar-benar kehilangan kata-kata. Jika ini lelucon seperti yang ada dalam Tv, tolong hentikan.
--
Kereta melaju membawaku kembali menuju rumah. Aku hanya menginap semalam di rumah Paman karena aku tidak bisa meninggalkan kuliah terlalu lama. Maksudku, suasana saat kuliah. Atau kawan saat kuliah. Atau apalah itu, yang jelas aku tidak bisa pergi terlalu lama. Aku sudah rindu.
Kereta melaju membawaku kembali menuju rumah. Aku hanya menginap semalam di rumah Paman karena aku tidak bisa meninggalkan kuliah terlalu lama. Maksudku, suasana saat kuliah. Atau kawan saat kuliah. Atau apalah itu, yang jelas aku tidak bisa pergi terlalu lama. Aku sudah rindu.
Perjalanan pulang ini sama saja. Aku duduk berdampingan dengan Anisa lagi. Hanya saja gadis itu membawa koper dan ransel yang terlihat sangat berat. Kulirik sepasang earphone bertengger di telinganya. Mau kuajak bicara, takut tak diacuhkan lagi. Sinar matahari pagi menyapu wajahnya yang semakin menampakkan keindahan.
"Nona." Aku menepuk punggung tangannya.
Anisa menoleh dan membuka earphonenya, "Ada apa?"
"Marilah bertukar pengalaman atau sekedar mencairkan suasana seperti penumpang yang lain. Terasa sangat canggung jika terus saja seperti ini. Padahal kamu sekarang sudah menjadi sepupuku." Kereta berangkat hanya beberapa menit yang lalu. Terasa malas bila harus menghabiskan waktu dengan tidur.
"Jika kamu menganggapku sepupu, berhentilah memanggil Nona. Panggil saja namaku." jawabnya menatapku lekat-lekat.
Aku mengangguk, "mengenai Andre.."
"Jangan sebut nama pria itu dihadapanku!" Seru Anisa menatap tajam tepat menikam irisku.
(Bersambung)
Comments
Post a Comment
Silahkan tulis komentar disini