Part sebelumnya: https://mobile.facebook.com/groups/241021756375188?view=permalink&id=299224170554946
Part 3
Aku menepuk lengan gadis itu. Saat menoleh, ia membuka earphonenya.
"Bolehkah saya bertanya?" Gadis itu mengangkat alisnya, "Apa nona bernama Anisa?"
"Darimana Anda tahu?" Ia membalas tanyaku.
Aku tersenyum telah menemukan gadis pembawa hati. Namun seketika senyumku memudar karena menyadari sesuatu.
"Nona bisa bicara?" tanyaku mencoba mencari penjelasan.
Anisa gelagapan dan mengalihkan pandangannya sembari mengaitkan earphonenya kembali.
Ini keanehan bisa juga sebuah kebohongan yang mendalam. Aku menepuk kembali lengannya dan bertanya tujuannya menaiki kereta, tapi tak ada jawaban. Musik yang berdentum keras menyumbat pendengarannya. Aku khawatir gadis ini juga berpura-pura tuna rungu. Tak habis akal, aku mengambil sebungkus singkong balado seperti yang pernah diceritakan oleh Andre.
"Makanlah, aku tahu Nona menyukainya." pintaku menyodorkan camilan berbungkus transparan.
Namun Anisa hanya menggeleng dan memejamkan mata. Dia mengacuhkanku dan akhirnya tertidur. Entah benar-benar tidur atau hanya sebuah pengalihan, aku tidak tahu.
Aku mengaktifkan ponsel yang sejak tadi nonaktif karena berusaha membuat Andre kebingungan. Senyumku mengembang saat ternyata Andre mengirim beberapa pesan.
[Andre:
Kamu kemana? Jam kuliah sebentar lagi akan dimulai.
07.55]
Kamu kemana? Jam kuliah sebentar lagi akan dimulai.
07.55]
[Andre:
Kamu bolos? Dosennya sudah datang.
08.00]
Kamu bolos? Dosennya sudah datang.
08.00]
[Andre:
Tiara, kamu kemana sih? Udah ga masuk, ga balas pesan pula.
10.17]
Tiara, kamu kemana sih? Udah ga masuk, ga balas pesan pula.
10.17]
Aku mulai memainkan jemariku di atas layar ponsel.
[Aku menemukan hatimu yang terbawa. Akan kuusahakam mengembalikannya padamu.]
Setelah terkirim, seperti ada sebuah anak panah menancap di pelipisku. Aku menoleh. Rupanya sejak tadi Anisa melihat semuanya.
"Nona, bisakah Anda mengembalikan hati Andre?"
Lagi, Anisa tak menjawab dan seolah-olah tidak ada suara apapun kecuali musik yang menggema di gendang telinganya.
Aku mengela napas berat. Tidak mungkin gadis yang sudah terciduk berdusta akan membalas pertanyaanku. Lebih baik aku memejamkan mata saja sambil menikmati kebisingan laju kereta yang hampir separuh perjalanan. Aku ingin segera menemui Paman dan berharap kondisinya cepat pulih. Hanya Paman Anto satu-satunya saudara Almarhum Ayah yang tersisa. Beliau sudah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri. Di saat hari libur paman akan mengunjungiku dan Bunda. Akan tetapi semenjak menderita sakit jantung koroner, Paman jarang berpergian. Ia takut merepotkan orang di sekitar saat kambuh, katanya.
Riuh suara penumpang membuatku membuka mata. Ternyata aku tertidur cukup lama hingga kereta sudah berhenti. Segera kuberanjak dan membetulkan kerudung. Kumenoleh pada bangku samping, sudah kosong. Anisa sudah pergi. Kesadaranku mulai merangkai dan memaksaku untuk mencari keberadaan gadis itu. Aku ingin menghadiahkannya pada Andre. Meskipun dia tidak akan mengikutiku, setidaknya aku akan meminta nomor ponselnya.
Namun nihil sekalipun aku menyapu pandangan ke seluruh isi stasiun.
[Aku gagal membawa hatimu]
Kukirim pesan singkat pada Andre dan memilih melangkah menuju rumah paman.
Rumah paman hanya berjarak satu kilometer dari stasiun. Aku memilih berjalan kaki saja untuk membersihkan rasa pening pada kepala setelah tadi terburu-buru menyadarkan diri. Melihat ada tempat duduk yang biasa digunakan oleh pedagang kaki lima, aku memutuskan untuk melepaskan rasa penat. Meneguk separuh botol air mineral cukup memperbaiki keadaan.
"Kamu haus?"
"Astaghfirullah aku terkejut."
Sebuah suara hampir membuat minuman dalam mulutku menyembur. Pria itu mengejutkanku. Aku hanya mengerjapkan mata saat menatapnya.
"Vino, kamu ngapain ke sini?" tanyaku tidak menyangka bertemu dengannya.
"Aku ada tugas penelitian. Jangan mengira aku mengikutimu." jawabnya membuatku jengah.
"Sudah sana kerjakan tugasmu. Aku mau lanjutkan perjalanan dulu." pintaku memunggunginya dan melangkah lurus.
"Jangan sampai dibohongi oleh gadis itu lagi!" teriakan Vino seketika membuat langkahku terasa berat.
Gadis itu?
Apa mungkin..
"Maksudmu Anisa?" Aku berbalik tanpa menghampirinya.
Vino mengangguk dan melangkah ke arah yang bertolak belakang denganku.
Mendengarnya mengetahui apa yang telah aku alami, aku hanya merespon dengan menaikkan bahu. Aku tidak ingin berpikir yang macam-macam. Lagipula aku tidak akan bertemu lagi dengan gadis itu. Jangan sampai Andre menyerahkan hati tanpa mengambilnya kembali pada gadis seperti Anisa. Jika di saat pertemuan pertama saja sudah menorehkan kebohongan, akan timbul kebohongan-kebohongan lain yang menanti di depan sana. Jalanan aspal seperti mendidih karena terbakar terik matahari yang sedang musim panas. Di ujung sana tampak sebuah fatamorgana. Aku tersenyum getir. Fatamorgana seperti aku dapat membawa hati Andre seperti gadis itu. Teringat tentang Andre aku belum mendapat balasan darinya. Mungkin ia sedang sibuk.
Rumah bercat hijau dengan pagar berwarna senada membuat langkahku terhenti. Tidak ada yang berubah semenjak terakhir mengunjunginya. Bunga-bunga masih tertata rapi dalam pot di sepanjang pagar. Ayunan yang terbuat dari ban mobil dengan penyangga bambu masih tegak berdiri di samping rumah. Segera aku mendorong pagar rumah Paman. Rupanya tidak dikunci. Aku khawatir terjadi sesuatu.
"Asslamualaikum, Paman." ucapku sambil melenggang masuk.
Tidak ada jawaban, "paman, mengapa pagarnya tidak dikunci. Jika terjadi sesu.."
Perkataanku terpotong dan mataku membulat saat berpapasan dengan seseorang yang tak pernah berkunjung ke rumah Paman sebelumnya. Orang itu duduk di samping Paman. Dia adalah...
(Bersambung)
Comments
Post a Comment
Silahkan tulis komentar disini