Skip to main content

Loneliness | Oleh : Yulia Roza

Yulia Roza
Penulis di BEKAR | Bedah Karya. Silahkan klik disini => BEKAR untuk gabung

Loneliness | Oleh : Yulia Roza
“Bukankah dia, Haruka?” “Ya, dia satu–satunya dari klan Sato yang selamat.” Haruka berjalan santai menerobos hiruk pikuk pasar ketika ia mendengar beberapa orang sedang membicarakan dirinya. Ia berhenti sejenak dan memejamkan mata, mencoba untuk mengabaikan bisik–bisik warga desa mengenai dirinya. Setelah beberapa saat, ia kembali membuka matanya dengan berlahan dan melanjutkan langkahnya. Ia berjalan santai tanpa memperdulikan tatapan kasihan dari seluruh warga desa kepadanya. “Haruka!” Sekali lagi Haruka menghentikan langkahnya, ia menoleh ke arah kirinya dan menatap seorang wanita tua pemilik toko yang menjual makanan. Yang tersenyum dan melambaikan tangan kearahnya. “Kemarilah sebentar!” Ucapnya. Haruka menghela napas berat, lalu berjalan menghampiri wanita itu. “Ada apa nenek memanggilku?” Tanyanya ketika berhenti tepat di depan wanita tua tersebut. Wanita itu menyodorkan sebuah kantung pelastik hitam kepada Haruka. Gadis cantik bermata kecokelatan itu menatap kantung yang disodorkan kepadanya dengan tatapan heran. Dengan sedikit ragu ia menerima pemberian dari pemilik toko makanan itu, lalu bertanya. “Apa ini nek?” “Hanya beberapa makanan dan kue. Aku sengaja membuatnya untukmu.” Jawabnya. Ketika ia melihat Haruka membuka mulutnya, hendak menanggapi jawabannya. 

Cepat–cepat ia menambahkan. “Aku tidak mengasihanimu… Jika itu yang kau takutkan… Hanya saja membiarkan seorang gadis remaja sepertimu kesepian dan kelaparan, itu bukanlah diriku. Lagipula aku dan keluargamu sangat dekat dulu dan kau juga sudah aku anggap sebagai cucuku sendiri. Sekarang kau dan aku bernasip sama… Sama–sama tidak memiliki keluarga. Jadi kau bisa menganggapku sebagai keluargamu mulai hari ini, jangan sungkan–sungkan untuk menemuiku jika perlu bantuan.” Haruka memaksakan seulas senyuman dibibirnya, lalu berkata. “Terimakasih, nek. Aku akan mengingatnya.” “Sekarang sudah malam, sebaiknya kau cepat pulang. Tidak baik anak gadis berjalan seorang diri di malam hari.” Dengan senyuman yang masih tersungging dibibirnya, Haruka mengangkat kantung pemperian wanita itu kedepan wajahnya dan berkata. “Sekali lagi terimakasih untuk makanannya. Aku akan menikmatinya dirumah. Selamat malam, nenek Akane.” Akane membalas senyuman Haruka dengan senyuman tulus dan lembut. “Sama–sama.” . . . “Aku pulang!” Ucap Haruka sambil menutup pintu rumahnya dan menguncinya. Ia melepas sepatu sandalnya dan mengenakan sandal bulu berbentuk kelinci berwarna abu–abu. Haruka meraba–raba dinding untuk mencari stop kontak lampu, menekanya dan seketika ruangan yang gelap itu berubah menjadi terang. 

Matanya menatap setiap sudut rumah dengan nanar. “Kemana saja kau seharian? Apa kau tidak berpikir diluar sana terlalu berbahaya untuk seorang gadis pulang larut malam seperti ini?” Itulah yang akan dikatakan ibunya dulu ketika ia melihat Haruka baru pulang kerumah pada pukul sebelas malam. Sambil memegang sebuah sendok sup dan bertolak pinggang, wanita itu memarahi dirinya. “Kau tidak lupa bukan, Haruka? Ibumu tidak akan tenang melihat anak–anaknya pulang larut malam.” Ayahnya yang sedang duduk di atas sofa sambil melipat koran menatapnya dengan tatapan jahil. Suara langkah kaki dari arah dapur mengalihkan pandangan Haruka, seorang laki–laki tampan berambut pirang jabrik menatapnya dengan bosan. Kakaknya itu menghampiri Haruka dengan sepotong roti di mulutnya dan segelas jus jeruk di tangan kirinya. “Bahkan ibu tidak akan bisa tidur jika aku saja belum pulang selarut ini. Kita akan menjadi orang tua yang baik nantinya.” Timpalnya. Suara ketukan pintu dari luar membuyarkan lamunan Haruka. Beberapa menit kemudian ia mendengar suara seorang gadis memanggil dirinya. Haruka berjalan menuju pintu dan membukanya dengan sekali tarikan. Ia menatap seorang gadis berambut hitam berjalan memasuki rumahnya dengan tatapan bosan. “Bolehkan aku menginap disini untuk malam ini?” Setelah menutup dan mengunci pintu, Haruka mengikuti Izumi keruang tamu. Ia melihat gadis cantik itu menghempaskan tubuhnya keatas sofa dan menatap langit–langit ruangan. Izumi menghela napas dalam dan menghembuskanya dengan pelan. “Aku sangat kesal kepada ibuku. Dia selalu ikut campur dalam setiap urusan pribadiku, dia juga suka melarangku keluyuran pada malam hari. Bukan hanya itu saja, dia juga senang mengatur–ngatur hidupku. 

Tadinya ayah selalu membantuku, tapi pada akhirnya ia selalu mengalah dan menuruti semua perintah ibu. Aku berharap, aku dapat hidup seorang diri.” Haruka menaruh kantung pemberian nenek Akane di atas meja, lalu duduk di sebelah Izumi. “Ibumu sangat menyayangimu.” Ucapnya sambil bersandar di sandaran sofa dan menutup mata. Ia sangat mengerti perasaan orang tua Izumi yang terlalu mengkhawatirkan anak mereka. Dan seharusnya Izumi juga dapat mengerti mengapa kedua orang tuanya bersikap berlebihan seperti itu. Izumi tersentak dan menoleh menatap Haruka dengan tatapan jengkel. “Sepertinya aku datang ke tempat yang salah. Jika Setsu berada di posisimu untuk mendengarkanku, dia akan mengerti diriku.” “Kalau begitu kenapa kau tidak menghampirinya saja?” Tanya Haruka dengan nada mengejek. “Hidup seorang diri dan kesepian, jauh lebih buruk dari pada dimarahi orang tua.” Kali ini nada Suaranya berubah menjadi dingin. “Dan kau…” Haruka membuka matanya dan menoleh menatap Izumi dengan dingin. “Kau… Gadis payah yang hanya menatap orang lain dari keburukanya dan selalu menganggap dirimu jauh lebih baik dari pada siapapun. Dasar bodoh!” Haruka sama sekali tidak berharap Izumi dapat mengerti maksud perkataanya. Ia bangkit dari sofa dan melangkah memasuki kamar tidurnya. Haruka menghempaskan tubuh di atas tempat tidur dan menatap kosong kelangit–langit kamar. Bayangan tentang kenangan–kenangan bersama keluarganya kembali muncul dalam benak Haruka. Sehingga ia kembali merasakan kehadiran ibu, ayah dan kakaknya di dalam rumah ini. . . . Pagi itu Haruka hanya duduk diam di bangkunya dan menatap kosong keluar jendela. Ia tidak memperdulikan kebisingan yang terjadi di ruangan itu ketika sosok Setsu memasuki kelas. Pemuda tampan itu berjalan santai menuju bangkunya yang terletak di belakang bangku Haruka.

Gadis itu mengalihkan pandangan ke arah belakang ketika mendengar suara decitan bangku, satu hal yang ia sadari ketika menatap sosok Setsu dengan jelas. Pemuda itu memiliki wajah tampan dengan mata setajam elang. Sekarang mata itu menatapnya dengan lembut, dan… kasihan? “Mengapa kau menatapku seperti itu?” Tanya Setsu dengan nada dingin. Haruka tersenyum sinis, lalu berkata. “Itu pertanyaanku.” Haruka melihat Setsu membuka mulutnya untuk menanggapi perkataannya, dengan malas dan cepat ia mengalihkan pandangan kedepan. Menatap seorang pria berstelan rapi sudah berdiri di depan kelas. Pria itu bukanlah guru mereka, karena tidak ada guru dimanapun yang menyelipkan sebuah pistol di gespernya. Dan pria itu sedang menatap kearahnya dengan tatapan dingin. Pria itu ragu sejenak, lalu membuka mulutnya. “Sato Haruka!” Haruka tidak menjawab panggilan dari pria itu, ia hanya menatapnya dengan tajam. Menunggu kelanjutan dari kata–kata pria itu dengan sabar. “Ikut aku keruangan BK. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.” Tanpa menunggu sampai seluruh bisikan dan tatapan bingung dari teman–teman sekelasnya semakin jelas. Haruka bangkit dari bangkunya dan berjalan santai keluar kelas. . . . “Perkenalkan. Namaku adalah Yamada Itsuki.” Haruka baru saja duduk di salah satu bangku kosong diruangan itu ketika Itsuki memperkenalkan dirinya. Ia masih diam menunggu kelanjutan kata–kata dari pria itu. “Saya adalah anak buah dari ayahmu sewaktu beliau masih menjabat sebagai kapten tim khusus di FBI. Saya kesini untuk memberikan kabar gembira kepadamu.” Itsuki diam sejenak, ia menghembuskan napas berat. “ Atau mungkin saja tidak berarti buatmu. Tapi kamu harus tetap mengetahuinya. Kelompok misterius yang menyerang dan membunuh keluargamu pada malam itu telah di tangkap. Mereka merupakan anak buah dari geng Gayuza yang ketuanya telah di tembak mati oleh ayahmu sewaktu melakukan penangkapan. Mereka ingin membalas dendam karena kematian ketua geng mereka. Dan…” “Dan melenyapkan nyawa keluargaku? Ayah yang hanya menjalankan tugasnya sebagai anggota FBI? Ibu dan kakakku yang tidak tahu apa–apa? Dan aku… Aku menjadi seorang diri… dan… Kesepian…” Kata Haruka dengan dingin setelah menyela perkataan dari Itsuki. Ituski dapat melihat dengan jelas air mata yang mengenang di kelopak mata Haruka. Gadis itu masih terpukul dengan kejadian pembantaian seminggu yang lalu di kediamannya.

Sehingga sampai saat inipun Haruka masih belum bisa memaafkan kejadian pada hari itu. Ia masih menyimpan dendam kepada mereka yang tega merenggut nyawa seluruh anggota keluarganya. Haruka menjadi lebih keras kepada dirinya sendiri. Ia mengatakan kepada dirinya untuk tidak lagi mempercayai siapapun. Ia harus mampu mengandalkan dirinya sendiri. Itulah alasanya mengapa setiap malam ia terus berlatih ilmu bela diri di tengah hutan. “Aku juga banyak mendengar tentang dirimu dari ayahmu.” Perkataan Itsuki membuat Haruka tersentak dari lamunanya. Ia mengerjap–ngerjapkan mata dan kembali menatap Itsuki dengan dingin. “Ayahmu pernah mengatakan kepadaku bahwa anak gadisnya telah menguasai empat jenis ilmu bela diri dengan baik melebihi Ryuki, kakakmu.” “Ya. Aku telah menyukai ilmu bela diri sejak usia tiga tahun. Sedangkan Ryuki-niichan lebih menyukai ilmu menembak dan panahan. Dia sangat ahli dalam bidang itu.” “Bagaimana kalau malam ini aku dan beberapa anggota tim asuhan ayahmu dulu melihatmu berlatih?” Haruka membuka mulutnya untuk menjawab, namun ditutupnya kembali. Setelah ragu sejenak, akhirnya ia mengatakan. “Baiklah. Kalian bisa datang ketengah hutan dekat air terjun dan melihat aku berlatih disana.” Alis Itsuki berkerut samar. “Mengapa harus di tengah hutan?” “Aku hanya suka suasana tenang disana.” “Kalau begitu kami akan datang pukul delapan malam.” . . . Dibawah terangnya cahaya bulan purnama dan dinginya angin malam. Haruka berlatih seorang diri di dekat air terjun. Ia sama sekali tidak perduli apakah Itsuki dan anggota lain asuhan ayahnya dulu akan datang seperti apa yang pria itu katakan tadi pagi di sekolahnya. Dengan gesit Haruka memanjat sebuah pohon dan duduk bersila di atas dahannya yang kokoh. Dari atas pohon setinggi dua puluh meter itu ia dapat melihat keindahan langit malam dari lebih dekat. Baru saja menikmati keindahan malam, Haruka di kagetkan dengan suara langkah kaki.

Bukan hanya satu orang, melainkan suara langkah kaki beberapa orang yang mendekati pohonnya. Haruka mempertajam indra pendengaranya untuk mendengarkan percakapan beberapa orang yang berhenti tepat di bawah pohonnya. “Dimana Haruka? Bukankah kau mengatakan kita akan menemuinya disini?” Tanya seorang gadis dengan suara lembut tapi tegas. “Aku yakin ini tempatnya. Tapi mengapa dia tidak kelihatan?” Haruka dapat menebak bahwa yang berbicara barusan adalah Itsuki. “Tapi dimana dia sekarang?” Terdengar suara berat seorang pria yang ikut angkat bicara. “Apa jangan–jangan kita datangnya kecepatan?” Haruka menoleh dan menatap kebawah, memandang keempat orang yang sedang menunggunya di bawah sana. Haruka merogoh tas kecil yang terlesip di ikat pinggangnya dan mengeluarkan sebuah kunai, lalu melemparkanya ke tengah–tengah keempat orang itu. Sehingga membuat mereka tersentak dan melompat kaget. “Mencari keberadaanku?” Haruka melompat dan mendarat dengan anggun di tanah. Ia mencabut kunai yang dilemparkanya tadi dengan tenang, lalu kembali memasukkanya kedalam tas. Sebelah alis Haruka terangkat setelah menangkap sosok Setsu di tengah–tengah Itsuki dan seorang wanita cantik. “Mengapa ada dia?” Itsuki menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal dengan canggung. “Sebenarnya sekarang kita adalah keluarga.” Mata Haruka menyipit. “Keluarga?” “Sebelum aku menjelaskannya, ada baiknya kalau kau berkenalan dengan kedua orang ini.” Itsuki menatap seorang wanita cantik berambut lurus sebahu dan seorang pria tampan bermata biru dengan bergantian. “Mereka berdua adalah…” “Hai! Perkenalkan namaku Mei dan ini Ken. Kami juga anak asuhan dari mendiang ayahmu dulu.” Kata Mei setelah menyela perkataan Itsuki. Haruka dapat melihat Itsuki menunduk dan menggerutu kesal. “Aku, Sato Haruka.”
Ucapnya sambil mengalihkan pandangan ke arah Mei dan Ken. “Lalu mengapa anak itu ada disini?” Setsu mendecah kesal setelah mendapati Haruka menatapnya dengan dingin. “Namaku Uchida Setsu, bukan anak itu.” Haruka mengangguk–ngangguk dan menatapnya dengan bosan. “Begini penjelasannya…” Itsuki menghentikan perkataanya setelah mendapati dirinya di tatap oleh keempat orang di hadapanya dengan dingin. Sesaat ia mengidik ngeri, namun ia berhasil menguasai perasaanya dengan baik. Itsuki berdeham pelam sebelum melanjutkan ucapannya. “Jadi begini… sebenarnya ayah Setsu adalah kakaku, sedangkan ayah Haruka adalah kapten tim kami dulu… sebelum mereka berdua tiada… mereka menitipkan anak-anaknya kepada kami…” Haruka dan Setsu saling melempar pandangan beberapa saat, lalu kembali menatap Itsuki dengan tatapan penuh tuntutan penjelasan. “Baiklah-baiklah! Aku akan jelaskan lebih rinci… jadi begini… Aku adalah adik dari ayahnya Setsu, jadi dia adalah keponakanku… sedangkan ayah kau, 

Haruka. Adalah kapten timku dahulu…” “Langsung saja… gak usah muter-muter.” Celetuk Haruka setelah memotong perkataan dari Itsuki. Itsuki mendesah panjang. “Baiklaaah..! Aku akan menjelaskan tentang kenapa kami menjadi walimu mulai hari ini... Pekerjaan kami sebagai seorang FBI akan menuntut kami untuk memikirkan hal terburuk yang akan terjadi di medan perang. Sebelum hal terburuk itu terjadi, kami akan menyusun rencana untuk kelangsungan kehidupan keluarga yang ditinggalkan… siapa walinya nanti, biaya sekolah dan kuliah, dan sebagainya… Ayahmu sudah memikirkan hal itu secara matang-matang. Dan ayahmu ternyata telah mempercayakanmu kepada kami. Apa kau mengerti? Apa kau setuju kalau kami menjadi walimu?” “Terserahlah.” Ucap Haruka acuh tak acuh, lalu berjalan menuju sungai. Setelah berdiri di tengah–tengah sungai yang dangkal itu, Haruka menyiapkan kuda–kudanya dan memulai gerakan kecil dengan tendangan ke depan lalu disusul gerakan pukulan. Gerakan–gerakan itu semakin lama, semakin cepat. Sehingga membuat ombak kecil di aliran sungai. Mata Mei menyipit memperhatikan sorot mata Haruka yang tajam menyala. “Ia masih dikuasai oleh dendam.” Gumamnya. Ken yang berdiri persis di sebelah Mei dapat mendengar dengan jelas perkataan dari wanita itu, walaupun terbilang suaranya cukup kecil. Karena jarak mereka yang dekat, membuat Ken dapat mendengar perkataanya. “Itu wajar, tidak ada manusia yang rela melihat keluarganya tewas secara mengenaskan. Apa lagi ia sama sekali tidak berada disana untuk melindungi keluarganya. Tapi percayalah kepada Haruka, suatu saat nanti ia pasti dapat melupakan masa–masa menyakitkan itu.” Commentarnya. . . . Sebulan sudah Haruka dan Setsu berlatih bersama setiap malam di tengah hutan ini. Tidak jarang mereka hanya berlatih berdua seperti saat ini. Pekerjaan Itsuki, Mei dan Ken sebagai anggota satuan khusus FBI, mengharuskan mereka melakukan perjalanan keluar kota selama berhari–hari untuk melakukan penyelidikan dan menangkapan target incaran mereka. Itsuki percaya bahwa tanpa mereka, Haruka dan Setsu dapat berlatih bersama dengan baik. Apa lagi Setsu terbilang anak yang tenang, dewasa dan dapat diandalkan. Itsuki yakin bahwa Setsu dapat dengan mudah beradap tasi dengan Haruka yang dingin dan pendiam.

Haruka duduk bersandar di bawah pohon sambil menenggak sebotol air mineral. Keringat berkucuran dari pelipisnya dan napasnya juga sudah tidak beraturan. Sejak berlatih dengan Setsu dua jam lalu, Haruka belum sempat beristirahat dan itu membuatnya sangat kelelahan. “Bagi!” Haruka menoleh dan menatap Setsu yang telah duduk di sebelahnya dengan tatapan bosan. Masih sibuk menenggak habis air mineralnya, Haruka melemparkan sebotol air kepada Setsu. “Bukan yang ini.” Setsu merampas botol air milik Haruka, lalu meminumnya tepat di bekas bibir gadis itu. Haruka menggelengkan kepala melihat tingkah aneh Setsu. “Aku tidak mengira kau suka berbagi sebotol air dengan orang lain.” Setsu mendesah lega setelah menenggak habis sisa air dalam botol berukuran 1.8 lt itu. “Tidak. Aku tidak pernah berbagi apapun dengan orang lain.” 

Serunya sambil mengelap bibir dengan ujung kausnya. Haruka hendak bangkit dari tanah ketika Setsu menarik lengannya sehingga ia harus kembali duduk. “Aku tidak berniat untuk mendengar kelanjutan cerita dihidupmu.” Katanya sambil menyentakkan tangan Setsu dari pergelangan tangannya. “Aku tidak akan bercerita. Aku hanya ingin kau istirahat sejenak. Kita sudah berlatih lebih dari dua jam. Dan aku sangat lelah.” Haruka tidak berkomentar apapun, ia kembali berdiri dan berlajan beberapa langkah untuk mendekati sebatang pohon besar dan memanjatnya dengan gesit. Tidak sampai lima menit, gadis bertubuh mungil itu telah sampai di dahan yang tertinggi. Haruka menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di atas dahan besar itu. Ia menatap langit yang sepi tanpa taburan bintang untuk menemani bulan di atas sana. “Kau dan aku sama… Sama–sama kesepian.” Gumamnya. “Bisa geser sedikit?” Haruka tersentak dan duduk dengan kaget. “Astaga, Setsu!” Ucapnya. “Kau buat aku kaget.” Setsu mengangkat bahu sebelum merebahkan diri disamping Haruka. “Aku juga tidak mau mati sia–sia di makan binatang pemburu jika tertidur di bawah sana.” Sekali lagi Haruka menghela napas panjang dan merebahkan dirinya di atas dahan pohon. Mereka hanya diam dan menatap lekat langit malam. Suata jangkrik, burung hantu dan beberapa binatang malam lainnya menjadi pemecah keheningan di antara mereka. “Kenapa kau tidak pulang? Aku yakin ibumu sedang cemas mencarimu sekarang.” Kata Haruka pada akhirnya. “Percuma saja aku pulang. 

Tidak ada siapa–siapa dirumah. Bukan hanya ayahku saja yang meninggal dalam kecelakaan yang terjadi 3 tahun lalu, tapi juga ibu dan kakaku.” Sorot mata Haruka berubah menjadi nanar, lalu ia mendesah pelan. “Maafkan aku.” Gumamnya. “Tak masalah, lagi pula kau tidak tahu akan hal itu.” “Aku tidak berfikir bahwa ada orang yang bernasip sama denganku. Dan aku berharap tidak ada orang di luar sana yang akan mengalaminya. Karena kehilangan seluruh anggota keluarga secara bersamaan itu sangat menyakitkan.” “Jika kau berjalan keluar desa dan memasuki desa-desa yang terpencil. Maka kau akan menemukan banyak anak yang bernasip sama dengan kita. Bahkan ada yang lebih parah lagi, selain kehilangan seluruh anggota keluarga, mereka juga harus kehilangan rumah dan hidup terlunta–lunta di jalanan.” Haruka menghela napas berat dan memejamkan matanya. “Aku tidak dapat membayangkan betapa beratnya beban kehidupan mereka.” “Ya! Dan aku rasa… mereka jauh lebih hebat dan tangguh,dibandingkan kau dan aku.” “Ya, kau benar.” Tumbuh seorang diri dan kesepian bukanlah sebuah takdir, tetapi sebuah jalan hidup. Kau tidak akan pernah kesepian jika membuka diri untuk dunia luar dan menyambut uluran tangan seorang teman dalam hidupmu. Tidak ada manusia yang kesepian selama mereka memiliki teman dan sahabat. Hubungan seperti itu yang saat ini tengah terjalin diantara Haruka dan Setsu tanpa mereka sadari. Setelah berlatih setiap hari, hubungan diantara mereka semakin terjalin erat. “Aku berfikir kau, pemuda yang baik.” Kata Haruka kepada Setsu. “ Ada satu hal yang ingin aku tanyakan kepadamu. Kenapa kau selalu menatapku dengan lembut?” “Karena kau adalah temanku…” Jawab Setsu dengan suara lembut tapi mengisyaratkan ketegasan.

“ Kau satu – satunya orang yang dapat menarik minatku untuk memeperhatikan orang lain. Dan setelah aku memperhatikanmu, aku merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku… Saat melihatmu terluka, aku juga… Terluka.” Haruka menoleh dan menatap Setsu. “Kenapa?” “Karena kau temanku…” “Teman?” “Ya!” Setsu mendesah pelan. “Setelah sebulan berlatih bersamamu. Aku dapat merasakan ikatan diantara kita semakin terjalin dengan erat, dan aku mulai melihatmu sebagai keluargaku. Aku tahu rasa sakit di hatimu tidak dapat disembuhkan dengan mudah… Tapi aku yakin, kita dapat menyembuhkanya bersama…” Haruka tertawa singkat, lalu kembali menatap langit. “Kau tahu… Kau adalah pemuda yang bodoh. Tidak ada seorangpun yang mau berteman dengan gadis aneh seperti diriku… Aku… Aku tidak bisa bersikap lembut kepada siapapun… Aku… gadis pendiam dan dingin yang tidak disukai oleh para laki–laki diluar sana. Lalu mengapa kau malah menganggapku sebagai teman?” Setsu menoleh menatap Haruka dan tersenyum tipis.

“Dasar Bodoh!” Gumamnya. “Kau adalah gadis yang menarik dan manis. Jangan pernah lagi pikirkan perkataan orang lain dan percayalah dengan kemampuanmu sendiri.” Sekali lagi Haruka menoleh menatap Setsu. “Setsu.” Gumamnya. Setsu melebarkan senyumannya, lalu berkata. “Mulai hari ini kau tidak lagi sendirian. Kau dan aku akan menjalani hidup bersama–sama… Sehingga aku maupun kau, tidak akan merasa kesepian lagi.” Setetes air mata jatuh dari sudut mata Haruka ketika ia tersenyum. Setsu menjulurkan tangan dan menghapus air mata itu dengan ibu jarinya. “Duri yang ada di dalam hati, akan tercabut oleh uluran tangan seorang sahabat.” Tambahnya. “Kau tidak akan kesepian lagi, aku janji padamu.” Setsu mengangguk dan mengelus pipi Haruka dengan ibu jarinya. “Dan aku dapat menemukan jalan kerumah dengan jelas. Tidak harus takut lagi kesepian dirumah yang besar.” “Aku tidak harus makan ramen instan setiap hari karena takut memasak dan makanannya terbuang sia–sia.”Sesaat mereka merawang jauh ke masa depan dan tertawa geli. Angin berhembus semakin kencang, Setsu menarik tubuh Haruka kedalam pelukannya. Membiarkan kehangatan menjalari tubuh mereka yang mulai membeku. Sehingga akhirnya mereka tertidur pulas di atas dahan pohon sampai pagi menjelang dan kehidupan baru mereka akan segera di mulai.

- End -
Yulia Roza 

Ingin karya cerpen kamu di bedah di BEKAR? silahkan bergabung di Grup Jisa Afta dengan cara klik disini => BEKAR

Comments

Popular posts from this blog

Bukan Karya Sastra

  Karya Semilir adalah bukan karya sastra. Karya ini sebenarnya bukan puisi.  Kitab Semilir adalah buku yang berisi tentang karya semilir.  Karya semilir adalah karya seni menulis dengan tinta kebebasan.  Menuangkan emosi dalam tata urut dan pemaknaan secara rinci, teliti, detail dan penuh samaran dengan gaya bahasa semilir. Kekuatan Karya Semilir 1. Tidak adanya unsur pengulangan kata dan pengulangan makna adalah salah satu kekuatan karya semilir yang tidak akan anda temui pada semua karya     seni sastra tulis didunia ini.  Bila anda membaca semilir dan memperoleh kesan pengulangan makna, sesungguhnya itu bukan pengulangan, tapi itu penekanan pemahaman. Sebab     manusia terkadang tidak memaknai isi tanpa penekanan pemahaman. 2. Kosa kata baru dan mungkin unik, mungkin pula anda sama sekali tak pernah menjumpai kata kata dalam karya semilir ini sebelumnya.  Bila anda membuka Kamus Bahasa Ind...

Novel CATATAN BODOH ( Cuplikan 2 )

Taman terlarang sesungguhnya taman paling indah. Tapi taman ini hanya boleh di masuki Putri Zain. Di taman terlarang inilah sang putri selalu menangis untuk menemukan kebebasan. Ia rapuh dan lemah di dalam taman itu tapi di luar taman ia sangat angkuh. Putri Zain tidak pernah menunjukkan raut wajah sedih. Alasan kesedihan paling dalam adalah bahwa kenyataan ia tak bisa melangkah ke luar gerbang negeri Kahlah. Ia hanya bisa bermain di luar Istana ketika Pagelaran Zirah atau ha ri Zirah. Hari Zirah adalah hari berpuisi. Tak boleh berucap bila tak mengeluarkan lafal puisi. Hari Zirah adalah hari luar biasa. Semua alumni sekolah kerajaan datang dan hadir dengan kewajiban yang sama yaitu tidak boleh berbicara tanpa berpuisi. Di saat itulah Putri Zain bebas berjalan-jalan ke Telaga Nazam, ia mencari sosok pemuda misterius yang mengganggu ruang dan segala kiblat hatinya. Kemana saja ia menghadap, bayangan pemuda tampan itu selalu hadir. "Mengapa engkau menyiksaku wahai kekasih ...

Kitab Semilir - Telaga Nazam

Buku Digital Kitab Semilir Memperhatikan kebiasaan teman2 yang sering online dan jarang membaca buku, maka saya mencoba menyajikan Buku Digital Kitab Semilir langsung di baca di Handphone teman2. Pemesanan nya pun sangat simple, langsung di kirim via WhatsApp. Kemana-mana teman2 tidak perlu lagi membawa buku, hanya cukup membaca buku digital Kitab Semilir Jisa Afta di Handphone. Sambil membaca Buku Digital Kitab Semilir sambil facebookan. Cttan : Jumlah halaman : 328 Halaman. Hubungi : 081241518638 WhatsApp / SMS Facebook Jisa Afta Facebook Ria M Assalaamualaikum Salam kasih untuk semuanya Aku sangat menyesal beli buku ini, kau tahu knp karena baru sekarang kutemukan kok tdk dulu dulu. Buku yg sangat menghormati pembaca, menyanjung, belum sepertiga dari kedua buku ini kubaca aku sudah terusir dari buku ini agar tdk terjebak dalam membaca ingin rasanya kutumpahkan segala isi jelaga jiwa...menghancurkan dendam yang menjadi sekat tipis per...