Part 2
Aku meletakkan cangkir yang kopinya masih tinggal separuh. Mata Andre terlihat sendu dan jari-jari tangannya saling meremas. Rasa ketakutan yang tak biasa ini terasa berlebihan bagiku. Baru kali ini kulihat ada seseorang yang merasa kehilangan sangat parah padahal baru pertama bertemu.
"Sepertinya Anisa itu tukang hipnotis atu mungkin dukun. Mana mungkin Andre yang kukenal sampai seperti ini." ucapku menatapnya dalam-dalam.
"Sepertinya Anisa itu tukang hipnotis atu mungkin dukun. Mana mungkin Andre yang kukenal sampai seperti ini." ucapku menatapnya dalam-dalam.
Sebelum menyahut, Andre menghembus napasnya dengan berat, "kamu kira Anisa seorang cenayang seperti di film-film itu?" Pertanyaannya diselingi dengan rasa kesal.
"Ya sudah, cepat habiskan kopinya. Kamu masih ada kelas Pak Yanto, 'kan? Jangan sampai telat. Aku pulang duluan." pintaku saat kulirik asap yang sejak tadi megepul sudah menghilang.
Aku beranjak dengan meraih tas selempangku. Andre tidak boleh absen dari dosen paling garang itu. Jangankan absen, telat sedikit saja amarahnya sudah mengepulkan asap lebih banyak daripada kopi yang baru diseduh. Langkahku terhenti saat ponselku bergetar.
[Andre:
Jangan lupa nanti malam temani ke toko buku.
16.23]
Jangan lupa nanti malam temani ke toko buku.
16.23]
Aku hampir terlupa jika ada bazar murah di toko buku langganan kami. Kubalas pesan Andre dengan gambar jempol. Aku ingin membeli beberapa buku untuk teman kesendirian di rumah. Karena Andre tidak mungkin sering mendatangiku mengingat hatinya sudah mulai menghilang.
"Ra, kok sendirian pulangnya? Mana si Andre? Biasanya lengket banget kayak lem besi." Suara Vino menyentakkan lamunanku.
"Masih ada kelas." Jawabku datar.
"Berantem?" tanyanya penuh selidik.
"Tidaklah. Aku duluan ya Vin, buru-buru masih ada urusan." Aku berusaha menghindar dari pria yang paling ingin tahu dan mencampuri masalah orang lain itu.
Bukan aku membencinya. Hanya saja aku risih pada sikapnya yang lebih merujuk seperti sikap perempuan. Vino teman kost Andre sejak pertama masuk kuliah dulu. Aku dekat dengan Andre, tapi tidak dengannya.
Lagi-lagi aku ingat pada Andre. Saat ia bercerita tentang gadis bernama Anisa, wajahnya berbinar penuh bahagia. Meski ada rasa perih di hati, aku anggap ini hanyalah sebuah keterkejutan saja. Nanti juga akan menghilang seiring waktu.
---
Malam ini bulan separuh membentuk indah di atas sana. Sinar lampu taman dan kendaraan yang lalu lalang mengiringi langkahku di trotoar menuju toko buku. Karena jaraknya dekat dari rumah, aku memutuskan untuk jalan kaki. Pria di sebelahku sejak tadi membisu. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
"Kamu ngajak aku ke bazar tapi nggak ngajak ngomong. Rasanya seperti jalan sendirian." Aku mulai menyibak lamunannya yang tersusun sempurna.
Andre tersenyum dan menatapku.
"Ya ampun rupanya Mamah Dede kesal." celetuknya dengan mengacak kerudung merah gelap yang kupakai.
"Apaan sih, Ndre." Aku membetulkan kerudung sembari tertawa.
Malam ini bulan separuh membentuk indah di atas sana. Sinar lampu taman dan kendaraan yang lalu lalang mengiringi langkahku di trotoar menuju toko buku. Karena jaraknya dekat dari rumah, aku memutuskan untuk jalan kaki. Pria di sebelahku sejak tadi membisu. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
"Kamu ngajak aku ke bazar tapi nggak ngajak ngomong. Rasanya seperti jalan sendirian." Aku mulai menyibak lamunannya yang tersusun sempurna.
Andre tersenyum dan menatapku.
"Ya ampun rupanya Mamah Dede kesal." celetuknya dengan mengacak kerudung merah gelap yang kupakai.
"Apaan sih, Ndre." Aku membetulkan kerudung sembari tertawa.
Sesampai di bazar, aku dan Andre membeli buku yang dibutuhkan. Di sana tidak hanya buku yang dijual. Di tenda sebelah ujung ada beberapa penjual makanan dan minuman yang tersedia. Kami membeli sebungkus gado-gado dan dua gelas es campur.
"Yakin ini sebungkus berdua?" Tanyaku menautkan alis tak percaya.
"Aku tau kamu lagi program diet jadinya nggak bakal habisin sebungkus, 'kan?"
Aku hanya menampakkan sederetan gigi padanya.
"Yakin ini sebungkus berdua?" Tanyaku menautkan alis tak percaya.
"Aku tau kamu lagi program diet jadinya nggak bakal habisin sebungkus, 'kan?"
Aku hanya menampakkan sederetan gigi padanya.
Setelah makan, kami masih duduk di pinggir trotoar menikmati angin malam yang memang tak seharusnya dinikmati. Andre membuka ponselnya melihat jam.
"Oya, sewaktu di dalam kereta kenapa kamu tidak meminta nomor ponsel Anisa? Setidaknya dia tidak perlu menulis segala rasanya lewat telapak tanganmu." Aku mulai mengingat gadis itu.
"Ponselku rusak. Baru kemarin aku mengambilnya."
Mataku membulat karena baru ingat saat Andre mengantarkan ponselnya ke tempat reparasi bersamaku. Aku meminta maaf karena terlalu sering lupa.
"Oya, sewaktu di dalam kereta kenapa kamu tidak meminta nomor ponsel Anisa? Setidaknya dia tidak perlu menulis segala rasanya lewat telapak tanganmu." Aku mulai mengingat gadis itu.
"Ponselku rusak. Baru kemarin aku mengambilnya."
Mataku membulat karena baru ingat saat Andre mengantarkan ponselnya ke tempat reparasi bersamaku. Aku meminta maaf karena terlalu sering lupa.
---
Pagi yang indah. Namun suasana di sini sepertinya tidak pernah sepi. Aku mengeratkan ransel saat akan memasuki gerbong yang tersedia. Sebisa mungkin aku duduk dengan seorang wanita. Duduk berdampingan dengan seorang pria yang tak dikenal hanya membuat rasa was-was di dadaku semakin menebal. Beruntunglah aku bersama dengan seorang gadis yang terlihat seumuran denganku. Matanya bulat, hidung mancung dan bibir tipis. Kulitnya putih bersih dengan rambut menjuntai bebas. Ada earphone terpasang indah di telinga yang tampak samar dibalik rambut coklatnya.
Gadis yang cantik.
Manusia normal yang lain akan memiki anggapan yang sama denganku.
Kereta mulai melaju. Hunian dan pepohonan mulai melambai seakan pergi meninggalkanku. Pagi ini aku menaiki kereta untuk menyambangi Paman yang sedang sakit. Aku mulai tertarik dengan kereta sewaktu Andre mengajakku naik kereta dua tahun lalu saat pulang kampung. Ah iya, aku belum berpamitan dengannya. Mungkin dia bingung mencariku atau bahkan biasa saja tanpa kehadiranku. Aku hanyalah sahabatnya. Lagipula tak ingin kurusak persahabatan ini dengan rasa aneh yang menjalar tak karuan dalam relungku.
Aku mengedarkan pandangan kesekeliling. Ada seorang ibu yang membukakan tutup botol air mineral untuk anaknya, ada pria dewasa yang sedang membaca buku, ada pemuda-pemudi tengah asik memainkan ponselnya serta mengambil gambar, dan gadis di sampingku hanya tenggelam dalam sunyi menikmati alunan musik dari earphonenya. Pandangannya menatap luar jendela yang menampakkan rimbuan pepohonan yang menjulang tinggi.
Tunggu dulu, aku teringat sesuatu.
Aku menepuk lengan gadis itu. Saat menoleh, ia membuka earphonenya.
"Bolehkah saya bertanya?" Gadis itu mengangkat alisnya, "Apa nona bernama Anisa?"
"Darimana Anda tahu?" Ia membalas tanyaku.
"Bolehkah saya bertanya?" Gadis itu mengangkat alisnya, "Apa nona bernama Anisa?"
"Darimana Anda tahu?" Ia membalas tanyaku.
---
(Bersambung)
Comments
Post a Comment
Silahkan tulis komentar disini