Mengintip | Karya : Laily Adha Intan Putri
"Bagaimana kerja pertamamu, Sekar?" ujar Gorry yang sudah duduk di teras rumahku. Entah sudah berapa lama dia menunggu.
"Menyenangkan. Seperti dugaanku. Kak Pric itu sangat baik," jawabku girang. Aku melepas kuncir hijauku, membiarkan rambut sepundakku terurai.
"Kau jangan mudah menganggap orang itu baik. Yang kamu kira paling baik, belum tentu paling baik," ujar Gorry sinis.
"Kau kenapa, Gorry. Kau tidak suka? Kenapa kau mudah marah, sih. Menyebalkan," aku menggerutu. Mengeluarkan kunci rumah dari tas selempang hitamku. Membuka pintu dan berjalan memasuki kamar.
"Aku benar, Sekar. Tidak semua orang yang kamu anggap baik itu akan benar-benar baik. Begitu juga sebaliknya," ujar Gorry, menyusulku ke kamar.
"Apa maksudmu? Siapa lagi yang ingin kau tunjukkan? Apa sih gunanya kamu mengorek-ngorek masa laluku. Apa tujuanmu sebenarnya? Aku tidak mengerti, Gorry."
"Sabar, Sekar. Aku akan tunjukkan secara perlahan. Sekarang, maukah kau bermain denganku?" ajak Gorry, tampak meyakinkan. Seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan malam ini.
Aku mengangguk. Gorry memejamkan mata sejenak. Kepalanya kini sudah dilengkapi mahkota bundar, tangannya mengeluarkan petir, dikibaskan ke arah dinding kamarku.
Pusaran besar muncul. Aku menyipitkan mata, silau. Ini kedua kalinya Gorry mengajakku bermain ke masa laluku. Menujukkan saat-saat dimana aku menangis di depan jenazah ibu.
Sampai sekarang aku belum mengerti mengapa Gorry melakukan semua ini.
Gorry menggengam tanganku, kaki kanan kami serempak melangkah ke pusaran itu. Badan kami langsung terjun, melewati lorong hitam yang menurun terjal, berkelok-kelok. Aku memejamkan mata, bagai naik roller coaster.
Tiga puluh detik, kami sampai di ujung lorong. Aku dan Gorry berdiri, aku memandang sekelilingku dengan heran.
"Aku tidak pernah melihat tempat ini sebelumnya, Gorry."
"Tentu saja. Ini masa dimana kau belum lahir," ujar Gorry.
"Untuk apa kau membawaku kesini?"
Gorry diam. Kami terus berjalan. Langkah kami terhenti di sebuah rumah tua.
"Ini adalah rumah ayahmu saat masih bujang," ujar Gorry, mengajakku masuk ke rumah itu.
Gorry benar. Disana ada ayah yang sedang merawat wanita tua. Aku tidak mengenal wanita itu. Tanpa menungguku bertanya, Gorry menjawab kalau itu adalah nenekku, ibunya ayah.
"Lihatlah, betapa berbaktinya ayah yang akhir-akhir ini kau benci," ujar Gorry. Sejak ibu pergi, aku mulai membenci ayah yang kuanggap sangat sering menyakiti ibu.
"Terus, kenapa dia tidak pernah membahagiakan ibu?"
"Ini yang mungkin belum kau tahu, Sekar. Dengarkan apa yang nenekmu sampaikan.
Aku diam, mengangguk. Mendekati nenek dan ayah.
"Reksa, ibu ingin kau menikah dengan Kirana. Ibu akan sangat senang jika dia bisa menjadi menantu ibu," ujar wanita yang tampak begirtu pucat itu. Suaranya lirih dan tersendat.
Aku menatap wajah sedih ayahku. Aku sangat mengerti wajah sedih itu. Sedih takut kehilangan ibu yang sangat disayangi. Ayah pun mengangguk. Tersenyum, namun seperti dipaksakan.
Mata nenek kemudian tertutup. Ayah terpekik. Meraung, menangis. Aku tidak mengerti banyak kisah masa lalu ayah sebelum menikah dengan ibu. Yang aku tahu, ayah selalu bersikap dingin pada ibu.
Tak terasa, airmataku ikut menetes. Ayah pasti sangat sedih saat itu. Aku sangat mengerti.
"Sampai disini dulu, Sekar. Perlahan." ujar Gorry, menggenggam tanganku. Pusaran besar muncul di dinding rumah tua itu. Meski enggan, aku menurut, melangkahkan kaki menuju pusaran.
Kami kembali lagi di kamarku. Gorry tersenyum, berjalan meninggalkan rumahku.
Aku diam. Makin tidak mengerti.
Comments
Post a Comment
Silahkan tulis komentar disini