Butam | Karya : Yulia Roza
Ku duduk di sini berteman sunyi.
Mentapa lurus ke atas langit, tempat bulan dan bintang berada.
Hanya suara gemerisik dedaunan yang berani memecah keheningan antara aku dan sunyi. Kini sunyi tak ingin lagi menemaniku di sini.
Ia cemburu oleh gemerisik dedaunan yang lebih menyita perhatianku tanpa tahu bahwa sesungguhnya ialah yang sangat ku inginkan saat ini di sisiku.
Ku cekal tangannya, saat sunyi mulai beranjak meninggalkanku. Ia menatapku dengan tatapan jengkel, "lebih baik kau ditemani olehnya saja, ia lebih mampun memberikan rasa nyaman padamu dari pada aku," ucapnya sebelum menepis tanganku.
Lalu ia berlalu bersama waktu.
Mengapa kau begitu emosian akhir-akhir ini, sunyi?
Kau membuat hatiku semakin gundah gulana. Sedangkan si gemerisik dedaunan itu masih sibuk menawarkan kenyamanan pada gundahku.
Ku tak ingin memperdulikannya, ku pilih berlalu mengejar dirimu, sunyi.
Ku berlari pada gerakan waktu yang begitu cepat.
Namun kemanapun langkah ini membawaku.
Kau tak lagi ku temukan.
Dimanakah kini kau berada wahai sunyi?
Kenapa kau meninggalkanku seorang diri di sini?
Perasan Butam ini datang menyapa hatiku. Ia menari di atas rasa gundahku, saat diri ini sibuk mencari dirimu.
Butam, mengapa kau datang?
Kemana saja dirimu saat sunyi masih di sini?
Dasar butam yang pendiam. Ia tak menjawab hanya mengidikkan bahunya.
Ah, butam. Kau sungguh membuatku merindukan si sunyi.
Kenapa kita bertiga tidak bisa berkumpul bersama lagi seperti dulu?
Apakah ini akhir dari persahabatan kita, sunyi?
Ku berjalan beringan bersama si Butam di bibir pantai. Menatap ke arah yang sama, arah matahari tenggelam di ujung laut. Kami juga mengacuhkan berisiknya suara si deburan ombak.
"Hai, Butam!"
"Kenapa Yuli?"
"Dengarkah kau saat si deburan ombak itu mengatakan bahwa kita ini sangat sombong karena tak ingin bermain bersamanya?"
"Ya, ku dengar itu. Tapi aku tak perduli."
Dasar Butam, begitulah dirimu yang selalu cuek namun terkadang juga cerewet di saat yang bersamaan.
Aku dan Butam terus saja berjalan, menelusuri pantai sampai kami temui dirimu, sunyi.
Di sana kau rupanya. Duduk termenung seorang diri di bawah batang kelapa.
Aku dan Butam berlari menghampirimu. Kami tak ingin kau menghilang lagi.
Kau menoleh saat kami menyerukan namamu, kami lihat matamu sembab. Habis menangiskah kau, sunyi?
Oh, maafkan aku sunyi. Ku tak bisa tanpamu. Hanya kau dan Butam lah sahabat sejatiku. Jangan pernah tinggalkan aku lagi, sunyi. Berjanjilah padaku, dan aku pun berjanji tak akan mengacuhkanmu lagi.
Yulia Roza
Comments
Post a Comment
Silahkan tulis komentar disini