Skip to main content

BEKAR | Bedah Karya #18 Bukit Bintang

Bedah KaryaBukit Bintang



Tujuan BEKAR :
Untuk Penulis : Bisa menjelaskan isi tulisan kamu ke pembacaUntuk Pembaca : Bisa terinspirasi untuk segera membuat karya.

ATURAN MAIN :
·         Wajib baca sampai habis cerpen ini.
·         Fokuslah pada jalan cerita. Tulis pertanyaan kamu di komentar, boleh menduga alur cerita dengan saling kunjungi komentar teman, penulis tidak akan langsung menjawab, penulis akan menjawabnya di sesi terakhir pada periode 24 jam.

·   PENULIS UNTUK SEMENTARA KAMI RAHASIAKAN NAMANYA, DAN AKAN DIPANGGIL UNTUK MENJAWAB PERTANYAAN KAMU DISESI TERAKHIR.

·         Cerpen tayang selama 24 Jam

·   Kirim cerpen kamu ke Email: jisaafta@gmail.com ( cantumkan akun Fb kamu di email)

SELAMAT MENIKMATI KARYA LUAR BIASA INI !

Bukit Bintang


Aku, hanyalah pengagum cahaya putih yang bergantung di langit malam.

***

“Maaf,” kataku pada seseorang yang tidak sengaja kutabrak.

Aku menunduk, dan melanjutkan langkahku meninggalkan orang itu. Bagaimana bisa orang itu tidak menjawab permintaan maafku? Aku harap dia baik-baik saja.
Suasana di sekolah masih sepi. Kuedarkan pandanganku ke kanan dan kiri. Sayangnya, belum ada penampakan satu pun siswa. “Jangan-jangan ... yang aku tabrak tadi bukan manusia?” Mataku membulat seketika.

Aku pun memutar balikkan tubuhku.

“Astaga! Bagaimana bisa orang setinggi ini berdiri di belakangku?” omelku pada siswa yang membuatku terkejut.

“Astaga! Bagaimana bisa orang pendek ini mengomeliku di pagi hari?” katanya sambil menirukan gaya bicaraku.

Tanpa menjawab, aku bergegas pergi menuju kelas. Tapi ... siswa itu meraih pergelangan tanganku.

“Berhentilah! Ini punyamu, kan?”

Aku pun menoleh ke arahnya. Ia menyodorkan sebuah pulpen yang tak lain adalah milikku.

“Terima kasih,” kataku setelah mengambilnya.

Ia hanya tersenyum, lalu berjalan pergi.

***

Sepihan kaca menyambutku pagi ini. Jauh, bahkan sangat jauh dari harapanku untuk menyatukan mereka. Aku terlalu egois! Ayah dan ibu memiliki perasaan yang berbeda. Tapi aku? Memaksa mereka untuk tetap bersama.

“Aduh!” rintihku kesakitan.

Serpihan kaca yang kubersihkan kini melukai tanganku. Aku tersenyum getir, menahan tangis yang hampir terukir di wajahku.

Sekolah, pukul 07.00 wib.

“Nafa, tanganmu kenapa?” tanya Jenny, teman sebangkuku.

“Kamu lupa, ya? Ini kan gara-gara digigit sama kamu tadi malem,” jawabku tertawa.

“Tuh, kan ... aku gigit beneran baru tahu rasa,” ancamnya.

Sepanjang jam pelajaran, aku benar-benar tidak bisa konsentrasi. Di dalam pikiranku hanya ada ayah dan ibu. Sejak saat wanita itu datang ke rumahku, memberitahu tentang hubungannya dengan ayahku.

5 bulan, aku bertahan di antara pertengkaran yang membuatku sesak ketika melihatnya. Pecahan kaca, piring, dan lontaran kata-kata kasar mereka benar-benar membuatku terpuruk.

Kupejamkan kedua mataku sejenak, mencoba lupakan ingatan menyedihkan.

Kring! Kring! Kringgg!

Bel pulang akhirnya berteriak keras di telinga kami. Tetapi, kulihat Jenny menunduk dengan raut wajah sedih.

“Kamu kenapa?” tanyaku.

Ia merangkulku dan menangis begitu keras.

“Mama sama papa aku broken home, Naf ... mereka nggak peduli sama aku, aku ingin mereka ingat saat sarapan bersama, saat menyiapkan makan malam bersama, tertawa bersama, dan menghabiskan waktu bersama.” Tangisnya semakin keras.

“Mereka pasti ingat, kok. Jenny-ku yang kuat, kita takkan mampu mengubah taqdir! Kecuali, Allah memberi kita kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”

Cairan bening hampir jatuh dari sudut mataku.

“Terima kasih, aku ingin jadi orang sepertimu . selalu tersenyum dan membuat orang lain tersenyum.”

“Nggak perlu jadi orang lain karena sebuah senyuman, Jenn. Karena di dunia ini, ada banyak senyuman yang terlahir dari hal menyedihkan,” tegasku.

***

Malam ini, aku duduk di jendela kamar untuk menatap bintang. Meski mendung kian menjalar dan hampir menutup langit. Mengingatkanku saat-saat bersama ayah dan ibu. Aku sendirian tanpa kata. Yang ada hanyalah bintang dan air mata.

Brakkk!

Aku terkejut mendengar suara itu.

“Jika bukan karena Nafa, Ayah pasti sudah pergi dari dulu!” ucap ayah begitu keras.
“Lalu, hidup bersama wanita murahan itu, kan?”

“Kenapa? Dia jauh lebih paham dengan keadaanku, dan dia lebih cantik darimu.”

Tubuhku lemas mendengar pertengkaran mereka. Aku bahkan hampir tak mampu berjalan untuk melerai mereka.

“Cukup! Aku sudah lelah dengan semua ini. Ini semua salahku. Aku tak seharusnya meminta kalian untuk tetap bersamaku. Pergilah, jika memang Ayah lebih memilih wanita itu. Dan Ibu, tetaplah bersamaku. Aku takut sendirian.”

Pada saat itu juga, aku memilih untuk pergi meninggalkan mereka. Aku berlari sekencang mungkin tanpa tahu arah tujuanku.

Lemas, kini aku tak lagi berlari. Langkah kecilku hampir tak ingin menapakkan jejak. Kuhentikan langkah untuk kemudian menatap langit.

“Hujan, turunlah! Kumohon,” pintaku.

Benar! Air mataku menetes, bersamaan dengan rintik gerimis yang jatuh di telapak tanganku.

“Berhentilah menutupi kesedihanmu di depan orang lain. Kamu tahu? Kamu adalah orang tercengeng yang pernah kukenal.” Suara itu tiba-tiba mengejutkanku.

Aku menoleh ke arahnya yang kini berdiri tegap di sampingku, memayungiku untuk sekadar melindungi kepalaku dari hantaman dingin air hujan.

“Kamu lagi?” tanyaku sambil mengusap air mata.

“Apa kamu benar-benar tidak mengingatku?”

Aku hanya menggeleng.

“Aku pemilik pulpen yang kukembalikan kemarin,” ucapnya.

Aku menatapnya lekat-lekat. Benarkah dia Fiko? Teman kecilku yang mampu tersenyum karenaku?

Ia tersenyum, lalu menarik tanganku untuk ikut bersamanya.

“Untuk apa kita ke bukit?” tanyaku.

“Bukankah ini bukit yang kamu tunjukkan padaku 5 tahun yang lalu?”

Aku baru ingat, bukit bintang. Dulu aku menamainya bukit bintang. Karena di sini ... aku dan dia selalu menatap bintang bersama setiap malam.

“Maaf, aku hampir melupakan hal membahagian di masa kecil kita,” ucapku.

“Setiap hari, aku di sini untuk menatap bintang sendirian. Tapi hari ini, aku bersamamu dan berharap, hari-hari selanjutnya tetap bersamamu.”

Aku tersenyum mendengar ucapannya.

Gerimis t’lah berhenti, meninggalkan petrichor yang ikut menemani kami malam ini. Ayah, ibu ... aku harap kalian bisa saling memahami dan kembali seperti dulu J.

“Aku menyukaimu, Naf. Apa kamu juga menyukaiku?”

“Entahlah,” jawabku lalu tertawa.

***

Tamat -

Penulis akan di hadirkan disesi terakhir. Tulis pertanyaan kamu tentang alur ceritanya, pertanyaan kamu akan di jawab sekaligus disesi terakhir.

Kirim cerpen kamu ke Email: jisaafta@gmail.com ( cantumkan akun Fb kamu di email)






Penulis: Dilla As-syilla 

Comments

Popular posts from this blog

Bukan Karya Sastra

  Karya Semilir adalah bukan karya sastra. Karya ini sebenarnya bukan puisi.  Kitab Semilir adalah buku yang berisi tentang karya semilir.  Karya semilir adalah karya seni menulis dengan tinta kebebasan.  Menuangkan emosi dalam tata urut dan pemaknaan secara rinci, teliti, detail dan penuh samaran dengan gaya bahasa semilir. Kekuatan Karya Semilir 1. Tidak adanya unsur pengulangan kata dan pengulangan makna adalah salah satu kekuatan karya semilir yang tidak akan anda temui pada semua karya     seni sastra tulis didunia ini.  Bila anda membaca semilir dan memperoleh kesan pengulangan makna, sesungguhnya itu bukan pengulangan, tapi itu penekanan pemahaman. Sebab     manusia terkadang tidak memaknai isi tanpa penekanan pemahaman. 2. Kosa kata baru dan mungkin unik, mungkin pula anda sama sekali tak pernah menjumpai kata kata dalam karya semilir ini sebelumnya.  Bila anda membuka Kamus Bahasa Ind...

Novel CATATAN BODOH ( Cuplikan 2 )

Taman terlarang sesungguhnya taman paling indah. Tapi taman ini hanya boleh di masuki Putri Zain. Di taman terlarang inilah sang putri selalu menangis untuk menemukan kebebasan. Ia rapuh dan lemah di dalam taman itu tapi di luar taman ia sangat angkuh. Putri Zain tidak pernah menunjukkan raut wajah sedih. Alasan kesedihan paling dalam adalah bahwa kenyataan ia tak bisa melangkah ke luar gerbang negeri Kahlah. Ia hanya bisa bermain di luar Istana ketika Pagelaran Zirah atau ha ri Zirah. Hari Zirah adalah hari berpuisi. Tak boleh berucap bila tak mengeluarkan lafal puisi. Hari Zirah adalah hari luar biasa. Semua alumni sekolah kerajaan datang dan hadir dengan kewajiban yang sama yaitu tidak boleh berbicara tanpa berpuisi. Di saat itulah Putri Zain bebas berjalan-jalan ke Telaga Nazam, ia mencari sosok pemuda misterius yang mengganggu ruang dan segala kiblat hatinya. Kemana saja ia menghadap, bayangan pemuda tampan itu selalu hadir. "Mengapa engkau menyiksaku wahai kekasih ...

Kitab Semilir - Telaga Nazam

Buku Digital Kitab Semilir Memperhatikan kebiasaan teman2 yang sering online dan jarang membaca buku, maka saya mencoba menyajikan Buku Digital Kitab Semilir langsung di baca di Handphone teman2. Pemesanan nya pun sangat simple, langsung di kirim via WhatsApp. Kemana-mana teman2 tidak perlu lagi membawa buku, hanya cukup membaca buku digital Kitab Semilir Jisa Afta di Handphone. Sambil membaca Buku Digital Kitab Semilir sambil facebookan. Cttan : Jumlah halaman : 328 Halaman. Hubungi : 081241518638 WhatsApp / SMS Facebook Jisa Afta Facebook Ria M Assalaamualaikum Salam kasih untuk semuanya Aku sangat menyesal beli buku ini, kau tahu knp karena baru sekarang kutemukan kok tdk dulu dulu. Buku yg sangat menghormati pembaca, menyanjung, belum sepertiga dari kedua buku ini kubaca aku sudah terusir dari buku ini agar tdk terjebak dalam membaca ingin rasanya kutumpahkan segala isi jelaga jiwa...menghancurkan dendam yang menjadi sekat tipis per...