Pahlawan Zaman
Now
oleh: Qiey Romdani
oleh: Qiey Romdani
Hampir mendekati hari lahirnya Pahlawan Islam, Nabi
Muhammad SAW atau yang kita kenal dengan sebutan Maulid Nabi, terasa begitu
cepat. Tak ada tanda-tanda momen untuk merayakan monumen besar di kota Serang
Banten, meskipun lokasi toko kami dihimpit dua pesantren salaf. Berbeda dengan
pesantrenku Nasy'atul Muta'allimin Gapura Timur sebulan sebelum acara H 12
Rabiul Awal para santri sibuk mengurusi acara pesantren, atau yang kita kenal
PESAN (persatuan Santri Setimur Daya) baik rapat panitia berulang kali,
penyebaran proposal, pencarian lokasi, perayaan lomba, dan sebagainya.
Kesibukan santri tersebut membuktikan kecintaannya pada Nabi Muhammad melalui
perayaan sakral hari kelahiran pahlawan sepanjang masa.
Saat pagi menjelang siang, saya baru datang belanja
keperluang toko ke agen pasar Cisoka. Rasa penat, atau capek begitu menyeruak.
Maklum, kota yang jarang tumbuhan hijau sehingga suasana tercampur dengan asap
kendaraan yang mencipta ruang panas. Kemudian, kami merapikan belanjaan ke rak masing-masing.
Aku bagian atas, seperti kopi, pembalut, susu, gula dan sebagainya. Sementara,
Marhasan khusus bagian rak depan seperti rokok, lampu, obat-obat sembari juga
melayani pembeli. Saat aku membaringkan tubuh, ada dua orang setara dengan
kami. Namun, begitu asing dalam benakku, perwatakannya seperti santri, pakai
sarung juga songkok dan membawa lampiran di bungkus map plastik warna merah.
Marhasan berbincang dengan dua orang itu, lalu memberi uang puluhan tiga
lembar. Pikiranku mulai bertanya-tanya, apa mungkin dia santri sungguhan atau
pura-pura? Hidup di kota kalau tidak cerdik memahami situasi dan kondisi bisa
tertipu. Banyak kejadian berinisiatif penipuan lewat poster sumbangan, belas
kasih korban lumpur lapindo, anak yatim, apalagi semenjak kejadian pengemis di
terminal terbayang rasa takut dan was-was hidup di kota. Sungguh ceramah
Marhasan saat terminal membuatku takut hidup di kota.
"San dua orang tadi siapa? Tanyaku pada
Marhasan.
"Dia santri pesantren Darul Qura' ujung utara
masjid itu" berkata Marhasan sembari menunjukkan jarinya ke utara. Benar
dugaanku mereka adalah santri, perwatakannya saja sudah jelas.
"Ngapain mereka ke sini?"
"Mengajukan proposal sumbangan maulid Nabi. Ya,
aku beri saja 30 ribu. Mumpung ada kesempatan merayakan juga, walaupun tak
secara kongkrit tapi abstrak"
"Hebat kamu, San. Pahlawan kamu!"
"Pahlawan apa?"
"Pahlawan zaman now"
"Ada-ada saja kamu. Apa karena sekarang tanggal
10 November yang bertepatan hari pahlawan kamu juluki aku seperti itu? Kalau
misalnya bukan, lantas mau juluki apa?"
"Manusia aneh, gila, misterius dan
ples-ples-ples. Tambahin sendiri biar nyadar."
"Iya, aku sadar. Aku beri satu pertanyaan agar
kamu sadar pula."
"Silahkan. Kujawab pertanyaanmu!"
"Apa yang dikatakan pahlawan?"
"Pahlawan adalah mereka yang berjuang untuk
kemerdekaan dan gugur di medan perang."
"Benarkah sesempit itu kamu menyebutkan
pahlawan?"
Saya terpojokkan dengan pertanyaan Marhasan. Diam
adalah alat menutupi kebodohan, sebab bicara lagi lalu masih terpojokkan,
rasanya malu tak punya muka. Marhasan tersenyum melihatku berpikir. Memang
otakku dan Marhasan berbeda jauh, seandainya diibaratkan kereta super kilat,
aku ada di gerbong paling belakang.
"Ucapanmu benar tapi kurang luas. Pasti kamu
pakai referensi gambar pahlawan yang di pajang di dinding sekolah atau melihat
di pasar. Mereka yang di gambar adalah pahlawan nasional. Merelakan harga
dirinya diinjak-injak yang penting bangsa dan negaranya tak diinjak. Rela
mengorbankan dirinya demi kemerdekaan Indonesia. Seperti itu konsep pahlawan di
gambar. Pertanyaannya, apakah petani bukan pahlawan? Coba, seandainya tidak ada
petani apakah kebutuhan tubuh kita tercukupi? Apalagi seorang guru, pahlawan
tanpa jasa. Masih tidak dikatakan pahlawan? Selaras dengan ungkapan penyair
Madura D. Zawawi Imron, pahlawan ialah orang-orang yang selalu berbuat manfaat
bagi bangsa dan negara, petani yang bekerja di sawah dan hasil panennya kita
makan adalah pahlawan. Nelayang yang bertarung dengan badai di tengah laut dan
hasil ikannya kita nikmati juga pahlawan. Para buruh yang mengerjakan perbaikan
jembatan, kulih-kulih angkut di pelabuhan, dan semua yang berbuat baik adalah
pahlawan, apalagi mereka yang telah berjuang untuk kemerdekaan sudah kita
kukuhkan sebagai pahlawan. Jadi, untuk mencapai kedudukan pahlawan mesti rela
berkorban, bukan pada dirinya sendiri melainkan untuk orang lain, apalagi
sampai ke level bangsa dan negara, sudah jelas dia adalah pahlawan. Meski tak
tercatat dalam buku sejarah, tapi tanda
jasanya akan tercatat dalam buku masa."
"Di sini kata kuncinya adalah kebaikan. Seorang
pahlawan tak petnah memunculkan egoisme atau sok menang sendiri, melainkan
memunculkan rasa iba dan solidaritas tinggi pada siapapun. Tak pernah
membedakan suku, ras, atau agama jika butuh pertolongan akan dibantu. Bukan
malah, membiarkan karena perbedaan jalur. Emangnya, mereka makhluqnya siapa?
Allah 'kan! Allah saja menolong hambaNya tak pernah membeda-bedakan. Meskipun
kafir Allah memberikan makan, harta, serta kehidupan. Jangankan Allah, pahlawan
nasional kita, seadainya tak memiliki solidaritas bangsa sudah ditendang orang
kafir dari Indonesia, sebab lebih banyak islam dari kalangan pesantren yang
memerdekakan Indonesia. Karena Indonesia bukan milik pesantren atau islam tapi
milik semua agama, maka sila pertama yang berkonsep islam dihapus beberapa kata
menjadi konsep semua agama, yaitu Tuhan yang Maha Esa. Indikator seperti ini
adalah bukti bahwa pahlawan berjuang bukan untuk dirinya tapi untuk
sesama."
"Bagaimana konsep ucapan julukan padaku,
pahlawan zaman now? Ucapanmu adalah semangat untuk kita meraih predikat
pahlawan. Predikat pahlawan tak gampang, butuh proses yang panjang. Rela
dirinya diinjak, dimusuhi, dicaci-maki, atau kemudian dibunuh. Masihkah kita
mau berpredikat Pahlawan? Konsep dunia seperti itu, orang baik pasti dimusuhi,
apakah ada orang baik memusuhi orang jahat? Jika ada berarti mereka bukan orang
baik. Malah, orang baik itu ingin meluruskan jalan orang jahat, menjadi baik.
Seperti itu konsep pahlawan zaman now, mengapa? Karena orang yang mengrong-rong
hancurnya NKRI, mau menjadikan Indonesia sebagai bangsa Khilafiah bukan
pancasila, dan mengaduh domba ormas Islam adalah musuh dalam negeri sendiri.
Orangnya asli Indonesia, tapi pemikiran dan paham telah dicuci oleh orang tak
bertanggungjawab. Seandainya, ada seseorang yang memiliki strategi hebat,
seperti Cut Nya'dien, Jendral Sudirman, Soekarno, Bung Tomo dan pahlawan
nasional lainnya untuk mengatasi permasalan dalam negeri, baru kita katakan dia
adalah pahlawan zaman now. Pahlawan dahulu sudah jelas, musuhnya adalah para
penjajah dan pahlawan now adalah musuh dalam negeri sendiri. Jika zaman dulu,
para pahlawan membela tanah air melalui bambu runcing atau senjata rampasan,
sementara zaman now kita pakai ilmu dan tehnologi, sebab melaui ilmu yang tak
sejalan dengan pembelajaran guru-guru musollah atau pesantren, apalagi media
sosial sudah mewadahi berbagai ilmu, bisa-bisa kita akan terjerumus pada lubang
kesesatan. Melalui dua hal itu, seseorang akan meminset pemikiran orang awam
menjadi radikal, mengkafirkan orang lain, melupakan pada ilmu yang telah
dipelajari oleh guru musollah atau pesantren, dan merong-rong pula hancurnya
NKRI. Di sinilah, letak pahlawan zaman now beraksi, berperang, dan membela
mati-matian demi menolong saudara se bangsa agar tak muda tertipu dengan gaya
mereka yang manis, tapi pahit di hati."
Saya takjub atas pemaparan Marhasan. Setiap
perdebatan nyata ataupun maya, pasti ujungnya saya terpojoki.
"Berarti para Kokkonang pahlawan dong?"
"He'em"
Jakarta, 18 November 2017
0 komentar:
Silahkan tulis komentar disini